Rene Descartes: Sang Bapak Filsafat Modern dan Rasionalisme

Ilustrasi Rene Descartes

Landasan Filsafat Modern dan Rasionalisme René Descartes

Dalam dunia filsafat modern, nama René Descartes adalah sebuah mercusuar. Sering dijuluki sebagai “Bapak Filsafat Modern,” pemikir brilian asal Prancis ini tidak hanya mengubah cara kita berpikir tentang pengetahuan dan realitas. Ia juga meletakkan fondasi bagi salah satu aliran filsafat paling berpengaruh: Rasionalisme. Rasionalisme René Descartes adalah aliran yang meyakini bahwa akal budi (rasio) adalah sumber utama pengetahuan, bukan pengalaman indrawi.

Sekilas tentang René Descartes

René Descartes merupakan seorang filsuf dan matematikawan asal Prancis. Descartes sering dijuluki “Bapak Filsafat Modern” karena perannya yang krusial dalam meletakkan fondasi bagi penyelidikan ilmiah dan perhatian yang lebih besar pada epistemologi di abad ke-17. Descartes memperkenalkan metode keraguan (method of doubt) . Ia meragukan segala sesuatu, termasuk informasi yang diperoleh dari panca indera. Dari keraguan radikal inilah ia mencapai satu-satunya kepastian yang tak tergoyahkan. Ia berasumsi bahwa sebagai entitas yang meragukan atau berpikir, pasti ada. Pernyataan filosofisnya yang paling terkenal adalah “Cogito, ergo sum” (Aku berpikir, maka aku ada),. Ini menjadi “prinsip pertama” dan landasan bagi seluruh epistemologinya serta pandangannya tentang ekstensi akal budi.

Lebih jauh, Descartes membedakan antara dua substansi yang berbeda secara fundamental dalam konsep dualisme, yakni jiwa dan raga. Jiwa (res cogitans), yang bersifat tak berwujud, sadar, dan esensinya adalah berpikir, sedangkan Raga (res extensa) bersifat material dan esensinya adalah kelapangan atau keluasan. Pemikiran ini, meskipun revolusioner, secara tidak sengaja menciptakan masalah mendalam yang mendominasi filsafat modern. Bagaimana pikiran yang tak berwujud dapat berinteraksi dengan tubuh yang material?  Keraguannya terhadap dunia eksternal dan penekanannya pada “aku yang berpikir” secara efektif memisahkan subjek dari objek.  Bertolak dari pemikirannya tersebut, akhirnya sebuah tantangan fundamental coba dipecahkan oleh para filsuf selanjutnya.

Rekomendasi situs tempat bermain slot terpercaya.

Keraguan sebagai Titik Awal

Lahir di La Haye en Touraine, Prancis, pada tahun 1596, Descartes hidup di masa transisi besar, di mana tradisi skolastik Abad Pertengahan mulai digantikan oleh sains dan pemikiran baru. Descartes merasa tidak puas dengan ketidakpastian yang ia temukan dalam pengetahuan saat itu. Ia memutuskan untuk membangun sistem filsafatnya sendiri dari nol. Ia memulai dengan sebuah metode yang radikal, yang disebut keraguan metodis.

Dalam karyanya yang paling terkenal, Meditations on First Philosophy, Descartes secara sistematis meragukan semua yang bisa diragukan. Ia meragukan kelima indranya, karena menurutnya, indra sering kali menipu. Descartes bahkan meragukan keberadaan dunia luar, bertanya-tanya apakah semua yang ia alami hanyalah mimpi yang sangat jelas. Ia sampai pada titik di mana ia meragukan keberadaan dirinya sendiri. Namun, dalam puncak keraguannya, ia menemukan satu kebenaran yang tidak bisa diragukan: “Aku berpikir, maka aku ada.”

Pernyataan Filosofis  ini, “Cogito, ergo sum”, menjadi landasan bagi seluruh pemikiran filsafatnya. Descartes menyadari bahwa meskipun ia bisa meragukan segala hal, fakta bahwa ia sedang berpikir (meragukan) adalah bukti tak terbantahkan bahwa ia ada sebagai makhluk yang berpikir. Ini adalah intuisi rasional yang paling mendasar dan paling pasti. Ia tetap pada pendiriannya bahwa akal budi atau rasio merupakan kebenaran yang mutlak. Kebenaran baru dinyatakan sah dan mutlak apabila sungguh-sungguh inderawi dan realitasnya tegas dan jelas, sehingga tida kada keraguan di dalamnya.

Tuhan, Jiwa dan Dunia dalam Rasionalisme René Descartes

Dari landasan “Cogito” ini, Descartes mulai membangun kembali pengetahuannya. Ia berargumen bahwa ide tentang Tuhan yang sempurna, tak terbatas, dan mahakuasa tidak mungkin datang dari dirinya sendiri yang terbatas. Oleh karena itu, ide tersebut harus ditanamkan oleh Tuhan itu sendiri. Ini adalah argumen yang dikenal sebagai argumen ontologis.

Dengan membuktikan keberadaan Tuhan, Descartes kemudian dapat meyakini bahwa Tuhan yang baik tidak akan menipu kita secara fundamental. Oleh karena itu, dunia luar yang kita rasakan melalui akal dan indra kita adalah nyata. Ia membedakan dua substansi fundamental:

  • Res cogitans: Substansi berpikir (jiwa), yang tidak memiliki ruang dan tidak bisa dibagi.
  • Res extensa: Substansi yang luas (materi), yang memiliki ruang dan bisa dibagi.

Konsep dualisme substansi ini, yang memisahkan jiwa dan tubuh secara fundamental, menjadi salah satu warisan paling kontroversial dan berpengaruh dalam rasionalisme René Descartes.

Warisan dan Kritik atas Rasionalisme René Descartes

Meskipun gagasan Descartes memiliki banyak pengikut, gagasan tersebut juga tidak luput dari kritik. Banyak filsuf setelahnya, seperti Baruch Spinoza dan David Hume, mencoba menyelesaikan masalah yang timbul dari dualisme pikiran-tubuh (bagaimana jiwa yang tidak material bisa berinteraksi dengan tubuh yang material?).

Namun, pengaruh Descartes tidak bisa diremehkan. Dengan metode keraguan metodis dan penekanannya pada akal budi, ia membuka jalan bagi revolusi ilmiah dan pemikiran modern. Ia mendorong kita untuk tidak menerima begitu saja apa yang dikatakan oleh otoritas, tetapi untuk menggunakan akal kita sendiri untuk menemukan kebenaran. Dalam esensinya, Descartes mengajarkan kita untuk berpikir. Aliran ini juga memungkinkan terjadimya era globalisasi.

Rekomendasi situs tempat bermain slot terpercaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *